Saturday 4 June 2011

Gattaca

1997

Columbia Pictures

Genre: Drama, romance, thriller, sci-fi

Sutradara: Andrew Niccol

Pemain: Ethan Hawke, Jude Law, Uma Thurman, Gore Vidal

Penulis: Andrew Niccol

Sinematografer: Slawomir Idziak

Musik: Michael Nyman

Durasi: 106 menit

MPAA Rating: Rated PG-13 for brief violence image, language, and some sexuality

Nilai: A

Setidaknya ada dua cara yang sering muncul di dalam film untuk membicarakan wacana-wacana filsafat.* Cara yang pertama adalah dengan mengeksplisitkan tendensi filsafat di dalam film itu sendiri. Maksudnya, sejak awal film itu sendiri sudah memproklamirkan dirinya sebagai sebuah “film filsafat”. Kecenderungan itu bisa kita lihat, misalnya, dari tema yang diambil, dialog-dialog yang “sumir”, dan kutipan-kutipan filosofis yang bertebaran sepanjang film. Judul-judul yang masuk dalam kategori ini misalnya: I (Heart) Huckabees, Being John Malkovich, dan The Seventh Seal.

Cara yang kedua biasanya lebih halus. Isu filsafat yang diambil dikemas sedemikian rupa dalam sebuah cerita sehingga tidak terlihat terlalu menonjol. Film-film jenis ini mengajak penonton menikmati sensasi berfilsafat bukan melalui ajakan langsung, tetapi menyisipkannya secara rapi di dalam sebuah jalinan narasi. Judul-judul yang masuk dalam kategori ini di antaranya The Truman Show, Rashomon, dan yang terakhir saya tonton, Gattaca.

Isu yang diambil Gattaca adalah isu yang sudah lama menjadi perbincangan di dalam filsafat kesadaran dan filsafat moral, terutama setelah berkembangnya ilmu neurosains dan genetika. Diandaikan bahwa, ketika neurosains dan genetika menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari umat manusia, usia dan riwayat hidup seseorang sudah bisa diketahui sejak ia baru lahir. Hanya dengan sedikit sampel, seorang dokter bisa memvonis bayi yang baru lahir dengan penilaian genetis: apakah kelak si bayi akan menjadi orang yang berguna atau malah menjadi sampah masyarakat.

Pelan tapi pasti, sebuah diskriminasi jenis baru mulai terbentuk. Orang-orang yang memiliki nilai genetis yang baik akan diterima secara sosial, sedangkan orang-orang yang memiliki nilai genetis yang buruk (bahkan berbahaya) akan terjerembab ke dalam kasta paling bawah dalam masyarakat. Pada latar sosial semacam itulah film Gattaca mengambil tempat.

Meski pun hidup pada era kejayaan ilmu genetika, orang tua Vincent Freeman (Ethan Hawke) memilih untuk melahirkan anaknya secara alami, tanpa rekayasa genetis agar sang anak menjadi jenius atau semacamnya. Maka lahirlah Vincent yang ternyata "cacat" secara genetis: ia divonis oleh neurologist yang membantu kelahirannya akan tumbuh sebagai anak laki-laki yang lemah, sakit-sakitan, dan hanya akan hidup sampai umur 30 tahun.

Dengan vonis semacam itu, Vincent masuk ke dalam kategori sosial yang disebut sebagai orang-orang "invalid", yakni orang-orang yang diramalkan menjadi beban masyarakat akibat bawaan genetisnya. Pada hari pertamanya di dunia, Vincent Anton Freeman telah dikurung ke dalam kasta sosial yang dibentuk atas nama ilmu pengetahuan.

Perlakuan diskriminatif yang dialami Vincent bahkan sudah dimulai sejak di dalam rumah. Mengingat fisiknya yang lemah, orang tua Vincent cenderung memfavoritkan Anton, adik Vincent yang (setelah orang tuanya kapok dengan proses kelahiran alamiah) lahir melalui rekayasa genetis. Dalam hal pendidikan, Vincent tidak diterima masuk ke sekolah yang bagus dan mahal. Pihak sekolah tidak mau mengambil resiko tidak mendapatkan premi asuransi jika terjadi apa-apa terhadap Vincent. Ketika beranjak dewasa, Vincent menghadapi kenyataan bahwa orang-orang seperti dirinya hanya boleh bekerja sebagai tenaga kerja kasar.

Kelebihan Gattaca tentu saja terdapat pada kemampuannya memprovokasi pikiran penonton terhadap tema yang disodorkan dan, melaluinya, mengajak penonton merenungi situasi dan implikasi dari kemajuan teknologi yang dicapai umat manusia sejauh ini. Semua itu dilakukan melalui sebuah cerita yang dinarasikan secara runtut, lepas, dan tanpa beban pretensius yang dibuat-buat. Kita bahkan bisa menikmati film ini sebagai sebuah film drama, romance, dan thriller sekaligus.

Kekurangan film ini (dan film-film lain yang masuk kategori “film filsafat tidak langsung”) adalah kemudahannya untuk terjebak menjadi sebuah cerita yang personal. Provokasi yang disulut pada awal film akan tertimbun segala tetek bengek sub-plot yang bukan bagian tema besar film itu sendiri. Pada Gattaca kita bisa lihat bahwa pada akhirnya fokus cerita lebih berkonsentrasi pada bagaimana upaya Vincent mencapai cita-citanya menjadi astronot, dan juga kisah percintaannya dengan Irene (Uma Thurman), rekan kerjanya sesama calon astronot.

Di atas semua itu, Gattaca adalah sebuah fiksi ilmiah yang sangat layak untuk ditonton. Statusnya sebagai sebuah film fiksi ilmiah menjadi semakin menarik karena, berbeda dengan fiksi ilmiah Hollywood pada umumnya, tema yang diambil sangat aktual. Setidaknya, film ini bisa menjadi sebuah insight bagi para penonton bahwa terkadang perkembangan ilmu pengetahuan dan tingkat kesejahteraan manusia bisa berjalan tidak beriringan.

*Kategori ini adalah kategori yang longgar. Keduanya saya ambil dari dua titik yang paling ekstrem. Tentu saja ada film-film yang tendensi filosofisnya sangat jelas, namun memiliki cerita yang menopang tendensi tersebut. Contoh yang paling anyar adalah film komedinya Joel Coen, A Serious Man (2009) dan drama psikologis Synecdoche, New York (Charlie Kaufman, 2008). Kategori ini saya buat agar memudahkan pembagian. Lagi pula pada dasarnya setiap film bisa difilsafatkan asal kita rela bersusah payah merefleksikannya lebih dalam.

No comments:

Post a Comment