Monday 16 August 2010

The Last Airbender


2010
Paramount Pictures
Sutradara: M. Night Shyamalan
Pemain: Noah Ringer, Nicola Peltz, Jackson Rathbone, Dev Patel, Shaun Toub, Aasif Mandvi, Cliff Curtis
Penulis: M. Night Shyamalan
Sinematografer: Andrew Lesnie
Musik: James Newton Howard
Durasi: 103 menit
MPAA Rating: Rated PG for fantasy action violence
Nilai: -B

Ini jelas bukan tipe film yang kita harapkan dari seorang M. Night Shyamalan. Para penggemar film-film Shyamalan mungkin akan kecewa dengan apa yang disuguhkan dalam The Last Airbender. Tidak akan ada teror psikologis dan ending yang mengejutkan ala The Sixth Sense di sini. Alih-alih, anda akan disuguhkan sebuah cerita fantasi yang penuh warna-warni plus eksploitasi CGI yang megah. Tampak jelas melalui The Last Airbender Shyamalan ingin keluar dari zona nyamannya sendiri.

Tapi perubahan adalah sesuatu yang sah, apalagi di industri perfilman. Siapa bilang seorang sutradara hanya boleh menyutradarai satu jenis film? Pilihan Shyamalan untuk menulis dan menyutradari The Last Airbender adalah hak prerogatif milik Shyamalan sendiri, dan saya menghormati pilihan tersebut.

Kisahnya sederhana, khas cerita fantasi untuk anak-anak. Syahdan, dunia ini ditinggali oleh empat bangsa besar: bangsa api, air, tanah, dan udara. Keempat bangsa ini hidup berdampingan secara damai selama bertahun-tahun berkat sosok seorang Avatar yang ditahbiskan mampu menjaga keseimbangan alam semesta. Normalnya, Avatar akan terus muncul dalam siklus waktu satu abad. Jika seorang Avatar wafat, tak lama kemudian akan muncul sosok Avatar yang baru. Hingga pada suatu saat sosok Avatar ini tidak muncul-muncul lagi. Keseimbangan alam pun rusak. Bangsa Api memulai ekspansi kolonial dan menjajah bangsa lain.

Di dalam masa perang seperti itu, dua orang kakak beradik bernama Sokka dan Katara secara tidak sengaja menemukan seorang anak kecil yang terperangkap di dalam es ketika pergi berburu. Anak kecil itulah sosok Avatar yang ditunggu-tunggu. Cerita kemudian berfokus pada petualangan sang Avatar bersama dua orang sahabat barunya itu mengembalikan keseimbangan alam semesta dan merestorasi kedamaian yang sempat hilang.

The Last Airbender memiliki semua hal yang semestinya dimiliki oleh setiap cerita fantasi yang baik: dunia alternatif, binatang-binatang fantastis, dan peperangan antara kebaikan dan kejahatan. Shyamalan menulis sendiri skenario film ini, mengadaptasi dari serial kartun populer milik Nickelodeon. Tidak ada yang baru, sebetulnya. Shyamalan hanya merangkum bagian-bagian penting dari serial tersebut dan memadatkannya ke dalam rentang durasi 100 menit.

Hal yang membuat film ini patut ditonton adalah visualisasinya. Film ini benar-benar akan memanjakan mata anda. Efek visualnya betul-betul enak untuk dilihat. Perhatikan bagaimana para pengendali api dan air itu saling bertempur satu sama lain. Lihat juga koreografinya. Film ini menghibur karena membuat kita betah untuk berlama-lama mengagumi semua keindahan visual tersebut.
Saya juga bersyukur dengan pilihan Shyamalan untuk mengakhiri film ini dengan skala yang besar. Perang di akhir film ini benar-benar kolosal, dan hal tersebut benar-benar di luar dugaan saya. Seandainya saja film ini diakhiri dengan skala yang lebih kecil, The Last Airbender akan menjadi film yang datar, bahkan jelek.

Dan sebagaimana film-film yang terlalu mengandalkan teknologi visual yang canggih, The Last Airbender memiliki skenario yang lemah. Mungkin kisah Aang si avatar ini memang lebih cocok disuguhkan dalam format serial televisi. Rentang waktu 100 menit tidak akan cukup membuat penonton terpukau terhadap detail-detail sejarah para pengendali elemen alam semesta itu. Belum lagi jika kita mempertimbangkan kedalaman karakter dan emosi penonton terhadap kisah yang dibangun. Setidaknya perlu beberapa episode untuk hal tersebut. Dan kita semua tahu Shyamalan tidak punya waktu sebanyak itu.

Mungkin saja saya yang salah. Mungkin memang Shyamalan tidak ingin asyik berlama-lama dalam proses naratif yang dalam. Mungkin ia sadar target pasar film ini pun mungkin tidak peduli dengan tetek bengek semacam itu. Akhirnya saya pun menikmati film ini sebagaimana film ini sepatutnya diapresiasi: sebuah film musim panas yang seru dan indah secara visual, namun akan segera kita lupakan begitu muncul film lain yang lebih berwarna-warni.

Monday 9 August 2010

Salt

2010

Columbia Pictures

Genre: Action-Thriller

Sutradara: Phillip Noyce

Pemain: Angelina Jolie, Liev Schreiber, Chiwetel Ejiofor

Penulis: Kurt Wimmer, Brian Helgeland

Sinematografer: Robert Elswit

Musik: James Newton Howard

Durasi: 100 menit

MPAA Rating: Rated PG-13 for sequence of violence and action

Nilai: A-


Poster film ini termasuk eksploitatif. Biasanya, poster semacam itu dipilih oleh produser yang kurang pede dengan isi filmnya sendiri. Maka, dipajanglah besar-besar wajah rupawan aktor atau aktris utamanya (yang tentunya termasuk selebritis papan atas Hollywood) sebagai media pendongkrak popularitas maupun penjualan film tersebut.

Produser film Salt pasti termasuk kategori produser yang kurang pede semacam itu. Namun, sebelum terburu-buru memberi penilaian, kita perlu tahu bahwa orang yang kurang pede pun masih bisa dibagi ke dalam dua kategori. Pertama, orang yang kurang pede karena tahu bahwa dirinya kurang menarik. Kedua, orang yang kurang pede karena tidak tahu bahwa dirinya sebetulnya menarik. Film Salt masuk ke dalam kategori yang kedua.

Film ini bercerita mengenai Evelyn Salt (Angelina Jolie), seorang agen CIA yang pada hari ulang tahun pernikahannya tiba-tiba mengalami sebuah “gegar identitas”. Ia didatangi oleh seorang informan asing yang ingin mengingatkan bahwa sebetulnya dirinya adalah seorang anggota “teroris legal” bentukan pemerintah Rusia. Komplotan teroris ini memiliki tugas untuk menyusup ke dalam jantung pemerintahan Amerika Serikat dan menghancurkannya dari dalam. Khawatir atas keselamatan suami yang dicintainya, Salt melarikan diri dari penahanan CIA dan terjadilah apa yang galibnya terjadi dalam sebuah film aksi: kejar-kejaran, tembak-tembakan, kejar-kejaran, dan tembak-tembakan, plus sedikit ledakan di sana-sini.

Jujur saja, siapa yang tidak menganggap tagline film ini kurang menarik, bahkan sedikit garing, silakan angkat tangan. Saya yakin sedikit sekali dari anda yang menganggap tagline film ini punya daya jual. Tapi siapa sangka tagline butut tersebut merupakan pertanyaan yang akan berseliweran dalam benak penonton sepanjang film ini diputar. Who is Salt? Ya, siapa sebetulnya Evelyn Salt? Berada di pihak mana sebetulnya cewek jagoan ini berada? Teroris Rusia? Atau setia pada CIA? Kekuatan film ini terutama berada pada twist-twist yang berkaitan dengan identitas sang tokoh utama dan keberpihakannya.

Kelemahannya: twister semacam itu hanya akan efektif selama separuh akhir dari seluruh durasi. Jadi, siap-siap saja merasa bosan sepanjang paruh pertama film dimulai. Bahkan ada beberapa scene kejar-kejaran yang eksekusinya kurang sempurna. Sebagai film aksi, Salt jelas masih kalah dengan film-film di jenisnya.

Biar bagaimanapun film ini jelas sangat menghibur. Penulis skenario berhasil mengangkat tema Perang Dingin yang semestinya sudah lapuk digerogoti perubahan sejarah. Film ini ditutup dengan sebuah adegan yang sengaja dikonstruksi untuk memulai sebuah sekuel. Terlepas dari kekurang-pedean produsernya, film ini tampaknya cukup yakin dengan kemungkinan dibuatnya sebuah sekuel, dan memang seharusnya begitu. Meski kurang memiliki daya ledak sebagai film aksi, Salt memikat justru karena skenarionya cukup cerdas untuk menarik simpati penonton kepada perjuangan sang tokoh utama. Dan jika anda tanya apakah saya akan menonton lanjutan film ini nanti jika jadi dibuat, jawab saya: sudah pasti!

Saturday 24 July 2010

Inception

2010

Warner Bros Picture

Genre: Science Fiction, Action

Sutradara: Christopher Nolan

Pemain : Leonardo DiCaprio, Ken Watanabe, Joseph Gordon-Levitt, Marion Cotillard, Ellen Page, Tom Hardy, Cillian Murphy, Dileep Rao, Tom Berenger, Michael Caine

Penulis: Christopher Nolan

Sinematografer: Wally Pfister

Musik: Hans Zimmer

Durasi: 149 Menit

MPAA Rating: PG-13 for sequence of violance and action throughout

Nilai: A+


Ini adalah film Christopher Nolan pertama yang saya tonton di mana skenarionya tidak ditulis bersama sang adik, Jonathan Nolan. Film-film Chris Nolan sebelumnya memang lebih banyak ditulis oleh Jonathan (Memento, The Prestige, dan Batman: The Dark Knight). Meski memulai debut sebagai sutradara dan penulis skenario yang mandiri, banyak yang berspekulasi bahwa otak jenius yang berada di balik kesuksesan film-film Chris sebetulnya adalah milik Jonathan. Inception secara lugas menunjukkan bahwa para spekulan tersebut salah total.

Inception bercerita mengenai seorang laki-laki, Dom Cobb (diperankan dengan baik oleh Leonardo DiCaprio), yang bekerja sebagai seorang ekstraktor. Kerja seorang ekstraktor adalah “mencuri” ide yang tersembunyi dalam benak seseorang melalui sebuah rekayasa mimpi. Dalam prosesnya, kerja seorang ekstraktor biasanya dibantu oleh seorang point man (untuk tugas ini Cobb sangat mempercayai rekan setianya, Arthur, yang diperankan oleh Joseph Gordon-Levitt) dan seorang arsitek labirin.

Film dimulai ketika Cobb dan rekan-rekannya berupaya mencuri informasi mengenai rencana ekspansi perusahaan Proclus Global dari kepala direkturnya, Mr. Saito (Ken Watanabe). Upaya tersebut gagal total. Akibatnya nyawa Cobb dan timnya menjadi buruan orang-orang Cobol Engineering, perusahaan yang memperkerjakan mereka untuk tugas tersebut. Ketika akan melarikan diri, Mr. Saito malah menemui Cobb dan menawarkan sebuah pekerjaan baru: inception, alias menanamkan ide ke dalam benak seseorang. Targetnya adalah Robert Fischer Jr., anak dari seorang pengusaha saingan Saito. Saito ingin si ahli waris perusahaan bapaknya ini untuk mempunyai ide di dalam kepalanya yang di kemudian hari akan menghancurkan kerajaan bisnis keluarga Fischer. Plot kemudian berlanjut ke dalam adegan perekrutan ala Ocean’s Eleven, hingga terkumpul sebuah tim yang diperlukan untuk melakukan inception.

Lihat? Itu adalah plot utama keseluruhan film. Sesederhana itu. Lalu mengapa banyak orang bilang Inception film yang berat? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan karena Christopher Nolan adalah seorang jenius yang tergila-gila pada detail. Jangan harap ada satu adegan pun di film ini yang datang ex nihilo. Bagi Nolan, segala hal terjadi atas sebab yang jelas dan tidak ada alasan apa pun untuk membodohi penonton dengan berbagai jumping logic. Bagi penonton yang cermat, rangkaian hubungan sebab-akibat tersebut adalah “taman bermain” yang teramat mengasyikkan. Relasi sutradara dan penonton semacam itu yang jarang kita temui dalam film-film lain.

Suspense yang dibangun Nolan dalam film ini juga membuat sutradara-sutradara film aksi akan terlihat sangat tolol. Adegan kejar-kejaran dan perkelahian di film ini akan membuat kita semakin terbenam ke dalam kursi penonton. Hal ini menjadi sebuah bonus yang menyenangkan bagi penggemar film aksi, mengingat adegan laga di dalam film ini hanyalah collateral effect dari plot utamanya. Tentu saja suspense yang kita rasakan hanya bisa dibangun jika kita sudah mengerti urgensi dari setiap tindakan pemain dan paham siapa yang mesti kita bela. Film-film lain, khususnya (dan ironisnya) film-film aksi, terkadang lupa unsur keterlibatan audiens semacam itu. Jangan lupakan pula skor musik yang disusun oleh Hans Zimmer. Tak ada yang bisa dikatakan selain Hans Zimmer adalah satu-satunya komposer yang paham betul bagaimana “membahasakan” imajinasi Christopher Nolan melalui komposisi musik.

Bagaimana dengan casting? Luar biasa. Saya paling suka karakter Ariadne (Ellen Page) sebagai seorang arsitek labirin muda dan Eames (Tom Hardy) yang kebagian tugas sebagai seorang forger. Ellen Page tampil gemilang, dan karakter yang diperankan Tom Hardy betul-betul menghibur. Sayang sekali Michael Caine hanya tampil beberapa menit. Tampaknya benar bahwa setiap sutradara hebat memiliki aktor favoritnya sendiri-sendiri. Semakin terlihat jelas bahwa Michael Caine bagi Nolan sudah seperti Toshiro Mifune bagi Kurosawa.

Dengan segala kesempurnaannya, Inception hanya akan membawa nama Christopher Nolan ke dalam jajaran sutradara papan atas Hollywood. Melalui Inception, kita melihat Chris Nolan telah menjadi sutradara sekaligus penulis skenario yang matang tanpa perlu nama adiknya tercantum di jajaran credit title. Kita telah melihat Chris tanpa Jonathan. Sekarang kita perlu melihat bagaimana nasib Jonathan Nolan tanpa abangnya. Interstellar (rencananya akan dirilis tahun 2012) akan menjadi film pertama Jonathan tanpa Christopher. Film ini akan dibesut oleh sutradara kawakan Steven Spielberg. Bagaimana jadinya eksekusi skenario yang ditulis Jonathan tanpa tangan dingin Chris Nolan? Akankah Interstellar memiliki daya pikat yang sama dengan Memento? The Prestige? Kita lihat saja nanti.

Tuesday 16 March 2010

Alice in Wonderland

2010
Walt Disney Pictures
Genre: Fantasy, Adventure
Sutradara: Tim Burton
Pemain: Mia Wasikowska, Johnny Depp, Helena Bonham Carter, Anne Hathaway, Crispin Glover, Michael Sheen, Stephen Fry
Penulis: Linda Woolverton
Sinematografer: Dariusz Wolski
Musik: Danny Elfman
Durasi: 109 Menit
MPAA Rating: PG for fantasy/action violence involving scary images and situation, and for a smoking caterpillar (wtf?!)
Nilai: C+

Saya tidak pernah membaca kisah-kisah Alice sebelumnya. Tapi, saya bayangkan cerita aslinya pasti menarik sekali. Bukan karena film terbaru dari sutradara Tim Burton ini sangat bagus. Justru sebaliknya, saya hampir merasa bosan menonton film ini. Karena itu saya coba membayangkan bagaimana jadinya cerita fantasi ini dalam bentuknya yang asli, tanpa embel-embel peperangan dan lelucon-lelucon yang melelahkan. Pasti menarik sekali.

Kisahnya bermula ketika Alice yang telah berusia 19 tahun mengunjungi pesta di sebuah kediaman keluarga bangsawan. Tanpa sepengetahuan Alice, pesta tersebut ternyata merupakan pesta pertunangan dirinya dengan Hamish, teman sepermainan dan anak keluarga bangsawan tersebut. Di kebun tempat berlangsungnya pesta itu Alice melihat seekor kelinci putih dan mengejarnya hingga terperosok ke sebuah negeri khayalan, tempat di mana makhluk-makhluk aneh dan binatang-binatang dapat berbicara. Alice mendapati bahwa negeri dongeng tersebut berada dalam kondisi yang mengenaskan dan dipimpin oleh seorang ratu lalim bernama Red Queen. Melalui sebuah ramalan, Alice mengetahui bahwa dirinya ditakdirkan untuk menyelamatkan negeri dan makhluk-makhluk aneh ini dari kekuasaan Red Queen. Maka petualangan pun dimulai.

Harus diakui Tim Burton memang ahli menciptakan (atau memoles ulang) karakter-karakter unik dan menarik. Siapa bisa melupakan Edward Si Tangan Gunting? Atau makhluk-makhluk ajaib di film Big Fish? Di film ini kita akan jatuh cinta pada Helena Bonham-Carter yang memerankan Red Queen. Setiap kali ia muncul di frame entah kenapa saya bisa menjamin adegan itu menjadi menarik. Johnny Depp, yang biasanya bersinar paling terang, tampaknya tidak mau tampil ngoyo. Tapi tetap saja ia begitu enak dipandang, seolah-olah dirinya dan kamera mempunyai chemistry yang begitu kental dan sulit dihapuskan. (Saya tidak heran Tim Burton begitu mencintai dua “mainannya” tersebut).

Tapi, mainan sebagus apa pun akan rusak di tangan seorang anak yang nakal. Dan dalam kasus ini, “anak nakal” tersebut adalah skenario yang buruk. Tidak ada yang saya harapkan ketika menonton film ini kecuali Alice cepat-cepat menyelesaikan misinya membunuh naga dan hidup bahagia selama-lamanya. Siapapun tahu ini adalah perang yang sangat hitam-putih (err, maksudnya merah-putih…) dan pasti dimenangkan oleh si putih. Masalahnya bagi saya: perlu berapa lama perang tersebut bisa diselesaikan sebelum saya benar-benar jatuh tertidur.

Overall: skenario film ini tidak sebanding dengan nama-nama besar yang menciptakannya. Bagi anda yang berencana nonton film ini di bioskop, ada baiknya memilih format 3-D. Mungkin alternatif tersebut bisa menebus kekecewaan yang bakal anda rasakan ketika keluar dari ruang teater nanti.

Tuesday 26 January 2010

Sherlock Holmes

2009
Warner Bros Pictures
Genre: Action, Crime, Mystery
Sutradara: Guy Ritchie
Pemain: Robert Downey Jr., Jude Law, Rachel McAdams, Mark Strong
Penulis: Micheal Robert Johnson, Anthony Peckham, Simon Kinberg, and Lionel Wigram
Sinematografer: Phillipe Rousselot
Musik: Hans Zimmer
Durasi: 128 menit
MPAA Rating: PG-13 for intense sequence of violence and action, some startling images and a scene of suggestive material
Nilai: A-

Tagline itu menggambarkan semuanya. Inilah Sherlock Holmes hasil dekonstruki Guy Ritchie. Jangan bayangkan Holmes yang dingin dan kaku. Sherlock Holmes dalam film ini sangat khas Ritchie: lincah, bawel, dan sedikit kenes. Awalnya saya sungguh takut menonton film ini. Saya takut imaji dan kekaguman saya atas Sherlock Holmes akan rusak diobrak-abrik oleh Ritchie. Nyatanya di akhir film saya bisa tersenyum lega. Imaji dan kekaguman saya tidak luntur sedikitpun. Saya bahkan masih bisa merasakan keasyikan dan kekaguman yang dulu saya rasakan ketika membaca The Sign of Four. (Bagi anda yang sudah membacanya tentu ingat ketika Watson menantang Holmes menebak siapa pemilik arloji yang dibawanya hari itu. Nah, adegan ini, dengan sedikit penyesuaian, disisipkan Ritchie di dalam film. Mungkin sebagai tribut).

Ada banyak adegan “analisa ringan” semacam itu di film ini. Maka dari itu saya menyimpulkan film ini bisa menjadi pengantar yang mengasyikkan bagi penonton awam untuk mulai mengagumi dan mencintai detektif tercerdas di muka bumi ini. Meski penuh resiko, saya pikir Ritchie berhasil. Memang karakter Holmes jadi agak “aneh”, tapi (dan ini membuat saya agak heran) tidak ada keganjilan sebagaimana Batman dirusak oleh Joel Schumacher. Bolehlah dikatakan bahwa kali ini Ritchie tidak mengecewakan siapapun…

Saturday 23 January 2010

Lord of War

2005
Lions Gate Entertainment
Genre: Drama, Political Crime Thriller
Sutradara: Andrew Niccol
Pemain: Nicholas Cage, Jared Leto, Ethan Hawke
Penulis: Andrew Niccol
Sinematografer: Amir Mokri
Musik: Antonio Pinto
Durasi: 123 Menit
MPAA Rating: R for strong violence, drug use, language, and sexuality
Nilai: A

Satu dari sekian banyak alasan untuk menyukai Lord of War-nya Andrew Niccol: selera humornya yang sinis. Film ini betul-betul lucu, sampai-sampai saya sedih sendiri mengingat yang ditertawakan adalah dunia yang kita tinggali saat ini. Puas-puaslah menertawai segala hal yang patut ditertawai dalam film ini: para birokrat, para politikus keji, para ekstremis, para sadis, para humanis, sampai kemanusiaan itu sendiri. (Hey, kapan lagi?).

Agak aneh juga sebetulnya. Setiap mendengar nama Andrew Niccol otak saya masih kecantol oleh The Truman Show yang mengharu biru itu. Sedangkan dalam Lord of War Niccol tampak lebih santai, meski tema yang diusung tetap terlihat “berat”. Proses naratif film ini betul-betul lezat. Sepanjang film kita dituntun untuk memahami seluk beluk dunia penjualan senjata dari sudut pandang Yuri Orlov (Nicholas Cage), seseorang yang mengaku “hanya terampil dalam bidang tersebut”. Anda tak perlu berpikir keras memahami sinisme film ini, sebetulnya. Ikuti saja Yuri Orlov dan tertawalah bersamanya.

Sejauh yang saya tahu, orang sinis biasanya menyebalkan. Tapi, Yuri Orlov adalah tipikal sinisme yang cerdas. Mau tidak mau saya malah menaruh simpati padanya. Bagaimana tidak? Dia menghitung laba penjualan senjata sambil menduduki patung Lenin…

El Orfanato

2007
Warner Bros
Genre: Horror
Sutradara: Juan Antonio Bayona
Pemain: Belen Rueda, Fernando Cayo, Roger Princep
Penulis: Sergio G. Sanchez
Sinematografer: Oscar Faura
Musik: Fernando Velazquez
Durasi: 105 Menit
MPAA Rating: R for some disturbing content
Nilai: B+

Ini adalah sebuah contoh film horror yang bagus. Menakutkan? Tidak begitu. Saya lebih bergidik melihat Linda Blair turun tangga sambil kayang di The Exorcist. Namun El Orfanato memiliki ending yang sangat bagus, sampai-sampai memaksa saya memaafkan alur cerita yang datar di bagian awal. Bocah yang berteman dengan hantu? Biasa. Si bocah menghilang dan menyebabkan rentetan tragedi? Lebih biasa. Bukankah formula semacam itu juga yang kita lihat di The Omen? Tapi, tunggu sampai rangkaian puzzle itu bermuara di bagian akhir. Untunglah Film ini tidak terjatuh pada trik-trik murahan ala “terapi kejut” untuk menakuti-nakuti penonton sebagaimana dipraktekkan Drag Me To Hell-nya Sam Raimi. Skenario film ini sendiri sudah memiliki fondasi yang kuat. Jadi, saya pikir urusan menakutkan atau tidak adalah derivasi dari kekuatan skenario dan tingkat kepercayaan anda terhadap hantu.

Setelah sempat kecewa oleh Paranormal Activity, akhirnya minggu ini saya dibuat terhibur oleh sebuah film horor yang betul-betul bagus. Overall: “Yah, lumayan, daripada lu manyun…”.

Thursday 21 January 2010

Paranormal Activity


2007
Paramount Pictures & Dreamworks Pictures
Genre: Horror
Sutradara: Oren Peli
Pemain: Katie Featherson, Micah Sloat
Penulis: Oren Peli
Durasi: 92 Menit
MPAA Rating: Rated R for language
Nilai: C

Well, apa mau dikata? Seandainya saja film ini pertama di jenisnya, mungkin penilaian saya akan lain. Pasalnya, beberapa tahun belakangan film berjenis “dokumenter jadi-jadian” seperti ini sudah banyak dibuat para sineas. Mungkin maksud hati mencari sudut bercerita alternatif yang bisa mengentalkan intensitas pengalaman sinematik. Tapi, bagi saya, perspektif pseudo-dokumenter begini lama-kelamaan menjadi semacam apologia bagi skenario yang buruk. Ingat Cloverfield? Nah! Dari semua “demam dokumenter” ini, ada dua pengecualian yang istimewa: District 9 dan Rachel Getting Married. Meskipun begitu, toh, keduanya tetap tidak bisa mengubah opini saya terhadap film-film sejenis.

Mungkin bagi anda yang sudah jenuh dengan film horror yang gitu-gitu aja, film ini bisa jadi alternatif yang menyegarkan. Tapi, jika anda termasuk orang yang menilai suatu pengalaman sinematik dari kekuatan narasi dan ide cerita, tidak perlulah saya membahas lebih jauh bagaimana buruknya akting si cewek, lebih baik segera lupakan film ini.