Monday 17 August 2009

12 Angry Men


1957

Orion Nova Production

Jenis: Courtroom Drama, Thriller

Sutradara: Sydney Lumet

Pemain: Henry Fonda, Lee J. Cobb, Ed Begley

Penulis: Reginald Rose

Sinematografer: Boris Kaufman

Musik: Kenyon Hopkins

Durasi: 96 Menit

MPAA Rating: No Rating

Nilai: A+

Jika semua elemen terbaik dalam sebuah proses pembuatan film bersatu, hasilnya adalah 12 Angry Men. Ini adalah sebuah film yang langka, baik dari segi naskah hingga kualitas akting pemain-pemainnya. Saya tidak akan ragu untuk menyatakan bahwa film ini adalah salah satu film terbaik sepanjang masa.

Di awal cerita, kita akan diinformasikan premis-premis awal yang membangun keseluruhan film. Premis pertama, seorang bocah remaja dituntut hukuman mati atas tuduhan pembunuhan tingkat pertama atas ayahnya sendiri. Premis kedua, hukuman mati tersebut berlaku jika ia dinyatakan bersalah, dan dibebaskan jika dinyatakan sebaliknya. Premis ketiga, penilaian bersalah atau tidaknya bocah tersebut berada di atas hasil diskusi dan kesepakatan dua belas orang juri. Catatan penting: hasil keputusan kedua belas juri tersebut harus bulat 12 – 0, satu suara oposan berarti keputusan tersebut tidak dapat diterima.

Sebanyak 95% lebih dari durasi film hanya terjadi di ruangan juri (Jury’s Room). Di ruangan kecil inilah kedua belas juri mendiskusikan, mendebat, dan menimbang-nimbang keputusan yang akan menentukan nasib si bocah terdakwa. Awalnya, kasus ini dianggap sebagai “open-and-shut case”, kasus yang gampang. Ada dua orang saksi kunci yang begitu yakin melihat si terdakwa membunuh bapaknya. Ditambah lagi alibi terdakwa sangat lemah. Segala hal yang berkaitan dengan kasus ini tampak memberatkan bagi sang terdakwa.

Masalah muncul ketika kedua belas juri mulai melakukan voting, Juri No. 8 (Henry Fonda) menjadi satu-satunya juri yang menyatakan sang terdakwa tidak bersalah. Hal ini menuntut kesebelas juri lainnya untuk “terjebak” dalam sebuah debat panas mengenai asumsi-asumsi, reasonable doubt, dan hal-hal mendetail lain yang terkait dengan kasus pembunuhan tersebut.

Penonton yang terpelajar mungkin akan langsung menyadari betapa luas dimensi akademis yang dicakup oleh 12 Angry Men. Mulai dari masalah hukum, demokrasi, epistemologi, hingga filsafat kebenaran, bisa kita cicipi di dalam film ini. Menyaksikan film ini kita akan belajar bahwa yang namanya “fakta”, seberapa pun sahihnya ia, akan selalu dapat dipelintir sesuai keinginan orang-orang yang berkepentingan.

Saya sangat menyukai pergerakan kamera yang digunakan Sydney Lumet dalam memvisualisasikan konflik yang terjadi. Sering kali Sydney Lumet hanya memindahkan fokus dari satu aktor ke aktor lain, tergantung siapa yang sedang berbicara, tanpa melakukan cut sama sekali. Hal ini, tentu saja, sangat sulit dilakukan dalam ruang lingkup syuting sesempit itu. Tetapi di tangan Lumet, hal tersebut memberikan film ini aura serius dan tensi yang tak putus-putus.

Konsekuensi lain: teknik tersebut menciptakan kesan real time, sehingga menuntut para pemainnya untuk terus berakting sesuai karakternya masing-masing bahkan ketika tidak sedang berada di frame sekali pun. Saya menyadari ini adalah film dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi, dan sekaligus menjadi yang paling berhasil sepanjang sejarah.

Ketika saya bilang sebuah film “berhasil”, itu tidak selalu berarti secara komersil ataupun publik. Budget film ini hanya sekitar $340.000 (bandingkan dengan film Indonesia teranyar Merah Putih yang berbiaya sekitar $6.000.000). Bahkan dengan dana sekecil itu film ini tetap jeblok di blockbuster. Di ajang Academy Award film ini hanya dinominasikan untuk tiga kategori: Film Terbaik, Sutradara Terbaik, dan Skenario Adaptasi Terbaik. 12 Angry Men gagal mendapatkan ketiga-tiganya. Film ini sempat sedikit berjaya di Berlin International Film Festival dengan meraih Golden Bear Awards.

Dengan raihan semacam itu, tetap tidak dapat dipungkiri menonton 12 Angry Men adalah pengalaman menonton film yang tak terlupakan sepanjang hidup saya.

Sunday 9 August 2009

My Left Foot: The Story of Christy Brown


1989

Ferndale Films

Jenis: Drama

Sutradara: Jim Sheridan

Pemain: Daniel Day Lewis, Brenda Fricker, Ray McAnally, Hugh O’Conor, Fiona Shaw

Penulis: Shane Connaughton & Jim Sherida, based on the book by Christy Brown

Sinematografer: Jack Conroy

Durasi:103 minutes

MPAA Rating: PG

Nilai: A-



Christy Brown adalah seorang pelukis, pengarang, dan penyair kelahiran Irlandia. Orang-orang mengenalnya sebagai seorang “seniman cacat”, meski Christy Brown sendiri tidak menyukai sebutan itu. Christy lahir dengan cerebral palsy, suatu kelainan syaraf otak yang mengakibatkan kecacatan fisik seperti lumpuh dan kesulitan bicara. Film ini mengisahkan hidup Christy Brown, seorang seniman pengidap cerebral palsy, yang hanya memiliki kaki kirinya untuk berkomunikasi dengan dunia.

Film dimulai ketika Christy Brown (Daniel Day Lewis) yang telah sukses, menghadiri acara amal di kediaman Lord Castlewelland (Cyril Cussack). Di sanalah Christy untuk pertama kalinya bertemu Mary Carr yang akan menjadi istrinya di kemudian hari. Pada saat itu Mary ditugasi oleh tuan rumah untuk mengurus Christy. Mereka kemudian mulai membicarakan buku dan karya-karya Christy dan dari situ cerita flashback ke masa kecil Christy yang dramatik.

Kekuatan film ini terutama terletak pada dialog dan akting para pemainnya. Setiap adegan terasa memiliki kesan yang dalam dan hampir tidak ada adegan yang sia-sia. Untuk ukuran film drama, tempo film ini termasuk cepat. Lihat bagaimana scene berpindah dari satu adegan ke adegan yang lain tanpa memberi penonton kesempatan untuk merasa bosan. Tidak ada satu bagian pun yang dibuat secara over-dramatic. Di tangan Jim Sheridan semuanya tampak begitu pas dan bersahaja.

Banyak adegan yang memorable jika kita mau bersimpati pada keluarga Brown ini. Adegan ketika ayah dan saudara-saudara Christy membuatkan kamar untuknya, ditutup dengan ucapan sang ibu (diperankan dengan sangat baik oleh Brenda Fricker): “Well, Christy, that’s the nearest he’ll ever come to sayin’ he loves you”. Atau ketika Christy secara diam-diam memberikan uang dari hasil karyanya kepada Mrs. Brown. Tetapi tentu saja klimaks dari drama ini adalah ketika Christy, yang dibakar cemburu, berusaha mengucapkan “Congratulations” kepada Dr. Eileen Cole (Fiona Shaw) atas pertunangannya dengan Peter (Adrian Dunbar).

Film ini bukan sebuah drama yang spesial, sebetulnya. Bahkan mungkin bukan salah satu film terbaik yang saya tonton. Meskipun film ini mendapat dua piala Oscar untuk kategori Aktor Terbaik (Daniel Day Lewis) dan Pemeran Pembantu Wanita Terbaik (Brenda Fricker), tampaknya agak sulit jika ingin menempatkan film ini sebagai sebuah karya “klasik”.