Monday 16 August 2010

The Last Airbender


2010
Paramount Pictures
Sutradara: M. Night Shyamalan
Pemain: Noah Ringer, Nicola Peltz, Jackson Rathbone, Dev Patel, Shaun Toub, Aasif Mandvi, Cliff Curtis
Penulis: M. Night Shyamalan
Sinematografer: Andrew Lesnie
Musik: James Newton Howard
Durasi: 103 menit
MPAA Rating: Rated PG for fantasy action violence
Nilai: -B

Ini jelas bukan tipe film yang kita harapkan dari seorang M. Night Shyamalan. Para penggemar film-film Shyamalan mungkin akan kecewa dengan apa yang disuguhkan dalam The Last Airbender. Tidak akan ada teror psikologis dan ending yang mengejutkan ala The Sixth Sense di sini. Alih-alih, anda akan disuguhkan sebuah cerita fantasi yang penuh warna-warni plus eksploitasi CGI yang megah. Tampak jelas melalui The Last Airbender Shyamalan ingin keluar dari zona nyamannya sendiri.

Tapi perubahan adalah sesuatu yang sah, apalagi di industri perfilman. Siapa bilang seorang sutradara hanya boleh menyutradarai satu jenis film? Pilihan Shyamalan untuk menulis dan menyutradari The Last Airbender adalah hak prerogatif milik Shyamalan sendiri, dan saya menghormati pilihan tersebut.

Kisahnya sederhana, khas cerita fantasi untuk anak-anak. Syahdan, dunia ini ditinggali oleh empat bangsa besar: bangsa api, air, tanah, dan udara. Keempat bangsa ini hidup berdampingan secara damai selama bertahun-tahun berkat sosok seorang Avatar yang ditahbiskan mampu menjaga keseimbangan alam semesta. Normalnya, Avatar akan terus muncul dalam siklus waktu satu abad. Jika seorang Avatar wafat, tak lama kemudian akan muncul sosok Avatar yang baru. Hingga pada suatu saat sosok Avatar ini tidak muncul-muncul lagi. Keseimbangan alam pun rusak. Bangsa Api memulai ekspansi kolonial dan menjajah bangsa lain.

Di dalam masa perang seperti itu, dua orang kakak beradik bernama Sokka dan Katara secara tidak sengaja menemukan seorang anak kecil yang terperangkap di dalam es ketika pergi berburu. Anak kecil itulah sosok Avatar yang ditunggu-tunggu. Cerita kemudian berfokus pada petualangan sang Avatar bersama dua orang sahabat barunya itu mengembalikan keseimbangan alam semesta dan merestorasi kedamaian yang sempat hilang.

The Last Airbender memiliki semua hal yang semestinya dimiliki oleh setiap cerita fantasi yang baik: dunia alternatif, binatang-binatang fantastis, dan peperangan antara kebaikan dan kejahatan. Shyamalan menulis sendiri skenario film ini, mengadaptasi dari serial kartun populer milik Nickelodeon. Tidak ada yang baru, sebetulnya. Shyamalan hanya merangkum bagian-bagian penting dari serial tersebut dan memadatkannya ke dalam rentang durasi 100 menit.

Hal yang membuat film ini patut ditonton adalah visualisasinya. Film ini benar-benar akan memanjakan mata anda. Efek visualnya betul-betul enak untuk dilihat. Perhatikan bagaimana para pengendali api dan air itu saling bertempur satu sama lain. Lihat juga koreografinya. Film ini menghibur karena membuat kita betah untuk berlama-lama mengagumi semua keindahan visual tersebut.
Saya juga bersyukur dengan pilihan Shyamalan untuk mengakhiri film ini dengan skala yang besar. Perang di akhir film ini benar-benar kolosal, dan hal tersebut benar-benar di luar dugaan saya. Seandainya saja film ini diakhiri dengan skala yang lebih kecil, The Last Airbender akan menjadi film yang datar, bahkan jelek.

Dan sebagaimana film-film yang terlalu mengandalkan teknologi visual yang canggih, The Last Airbender memiliki skenario yang lemah. Mungkin kisah Aang si avatar ini memang lebih cocok disuguhkan dalam format serial televisi. Rentang waktu 100 menit tidak akan cukup membuat penonton terpukau terhadap detail-detail sejarah para pengendali elemen alam semesta itu. Belum lagi jika kita mempertimbangkan kedalaman karakter dan emosi penonton terhadap kisah yang dibangun. Setidaknya perlu beberapa episode untuk hal tersebut. Dan kita semua tahu Shyamalan tidak punya waktu sebanyak itu.

Mungkin saja saya yang salah. Mungkin memang Shyamalan tidak ingin asyik berlama-lama dalam proses naratif yang dalam. Mungkin ia sadar target pasar film ini pun mungkin tidak peduli dengan tetek bengek semacam itu. Akhirnya saya pun menikmati film ini sebagaimana film ini sepatutnya diapresiasi: sebuah film musim panas yang seru dan indah secara visual, namun akan segera kita lupakan begitu muncul film lain yang lebih berwarna-warni.

Monday 9 August 2010

Salt

2010

Columbia Pictures

Genre: Action-Thriller

Sutradara: Phillip Noyce

Pemain: Angelina Jolie, Liev Schreiber, Chiwetel Ejiofor

Penulis: Kurt Wimmer, Brian Helgeland

Sinematografer: Robert Elswit

Musik: James Newton Howard

Durasi: 100 menit

MPAA Rating: Rated PG-13 for sequence of violence and action

Nilai: A-


Poster film ini termasuk eksploitatif. Biasanya, poster semacam itu dipilih oleh produser yang kurang pede dengan isi filmnya sendiri. Maka, dipajanglah besar-besar wajah rupawan aktor atau aktris utamanya (yang tentunya termasuk selebritis papan atas Hollywood) sebagai media pendongkrak popularitas maupun penjualan film tersebut.

Produser film Salt pasti termasuk kategori produser yang kurang pede semacam itu. Namun, sebelum terburu-buru memberi penilaian, kita perlu tahu bahwa orang yang kurang pede pun masih bisa dibagi ke dalam dua kategori. Pertama, orang yang kurang pede karena tahu bahwa dirinya kurang menarik. Kedua, orang yang kurang pede karena tidak tahu bahwa dirinya sebetulnya menarik. Film Salt masuk ke dalam kategori yang kedua.

Film ini bercerita mengenai Evelyn Salt (Angelina Jolie), seorang agen CIA yang pada hari ulang tahun pernikahannya tiba-tiba mengalami sebuah “gegar identitas”. Ia didatangi oleh seorang informan asing yang ingin mengingatkan bahwa sebetulnya dirinya adalah seorang anggota “teroris legal” bentukan pemerintah Rusia. Komplotan teroris ini memiliki tugas untuk menyusup ke dalam jantung pemerintahan Amerika Serikat dan menghancurkannya dari dalam. Khawatir atas keselamatan suami yang dicintainya, Salt melarikan diri dari penahanan CIA dan terjadilah apa yang galibnya terjadi dalam sebuah film aksi: kejar-kejaran, tembak-tembakan, kejar-kejaran, dan tembak-tembakan, plus sedikit ledakan di sana-sini.

Jujur saja, siapa yang tidak menganggap tagline film ini kurang menarik, bahkan sedikit garing, silakan angkat tangan. Saya yakin sedikit sekali dari anda yang menganggap tagline film ini punya daya jual. Tapi siapa sangka tagline butut tersebut merupakan pertanyaan yang akan berseliweran dalam benak penonton sepanjang film ini diputar. Who is Salt? Ya, siapa sebetulnya Evelyn Salt? Berada di pihak mana sebetulnya cewek jagoan ini berada? Teroris Rusia? Atau setia pada CIA? Kekuatan film ini terutama berada pada twist-twist yang berkaitan dengan identitas sang tokoh utama dan keberpihakannya.

Kelemahannya: twister semacam itu hanya akan efektif selama separuh akhir dari seluruh durasi. Jadi, siap-siap saja merasa bosan sepanjang paruh pertama film dimulai. Bahkan ada beberapa scene kejar-kejaran yang eksekusinya kurang sempurna. Sebagai film aksi, Salt jelas masih kalah dengan film-film di jenisnya.

Biar bagaimanapun film ini jelas sangat menghibur. Penulis skenario berhasil mengangkat tema Perang Dingin yang semestinya sudah lapuk digerogoti perubahan sejarah. Film ini ditutup dengan sebuah adegan yang sengaja dikonstruksi untuk memulai sebuah sekuel. Terlepas dari kekurang-pedean produsernya, film ini tampaknya cukup yakin dengan kemungkinan dibuatnya sebuah sekuel, dan memang seharusnya begitu. Meski kurang memiliki daya ledak sebagai film aksi, Salt memikat justru karena skenarionya cukup cerdas untuk menarik simpati penonton kepada perjuangan sang tokoh utama. Dan jika anda tanya apakah saya akan menonton lanjutan film ini nanti jika jadi dibuat, jawab saya: sudah pasti!