Thursday 30 June 2011

Ed Wood

1994

Touchstone Pictures

Genre: Drama

Sutradara: Tim Burton

Pemain: Johnny Depp, Sarah Jessica-Parker, Martin Landau, Patricia Arquette, Lisa Marie Smith, Jeffrey Jones, Bill Murray

Penulis: Scott Alexander & Larry Karaszewski

Sinematografer: Stefan Czapsky

Musik: Howard Shore

Durasi: 127 menit

MPAA Rating: Rated R for some strong language

Nilai: A


Sudah sewajarnya jika sebuah film biografi menceritakan riwayat hidup orang-orang hebat di bidangnya. Sudah menjadi naluri penonton untuk ingin serba-tahu sejarah hidup orang-orang sukses. Nah, film Ed Wood garapan sutradara Tim Burton ini dengan berani melawan pakem semacam itu. Ed Wood bercerita tentang kisah hidup Edward Davis Wood, Jr., seseorang yang pada tahun 1980 dianugerahkan Golden Turkey Award sebagai sutradara paling buruk dalam sejarah.

Sebagai sebuah biopic, Ed Wood sebetulnya tidak banyak menceritakan riwayat hidup subjeknya. Film ini bahkan dimulai ketika Ed Wood sudah berumur 30 tahun dan telah menganggap dirinya sebagai penulis dan sutradara film. Tampak jelas bagi Tim Burton sejarah hidup Ed Wood bukanlah hal yang penting. Burton lebih asyik berkutat dengan bagaimana proses “kerja kreatif” Ed Wood dalam menghasilkan karya-karyanya. Maka sepanjang film kita akan menyaksikan bagaimana seorang Ed Wood jatuh bangun mewujudkan cita-citanya menjadi seorang penulis dan sutradara terkenal, yang terkadang bisa lucu, absurd, sekaligus mengharukan.

Film ini saya anggap penting karena beberapa hal. Pertama, ini adalah sebuah film yang membicarakan “American dream” dari perspektif yang unik. Film ini seolah-olah mengejek omong kosong yang sering ditawarkan film-film Hollywood pada umumnya: “teruslah berusaha mewujudkan mimpi karena akhir yang bahagia menanti anda di ujung cerita”. Astaga! Bukankah itu adalah sebuah kebohongan yang mengerikan? Meskipun bisa kocak, film ini sebetulnya bersifat tragis. Apa yang lebih menyedihkan dari kisah seseorang yang tulus dan pekerja keras namun hanya menderita kegagalan demi kegagalan sepanjang hidupnya? Alasan lain film ini saya anggap penting adalah karena ia merefleksikan ketakutan-ketakutan kita yang paling dalam atas absurditas dan sifat tragis kehidupan.

Sayangnya, saya sama sekali tidak bisa menangkap nada dasar film ini. Saya tidak tahu apakah film ini cenderung mengolok-olok Ed Wood atau justru bersimpati padanya. Pada beberapa adegan kita bisa terbahak melihat betapa tidak kompetennya Ed Wood sebagai seorang sutradara. Adegan ketika Ed Wood melakukan tarian perut sambil dikelilingi teman-temannya bahkan menegaskan bahwa karakter-karakter dalam film ini adalah sekumpulam freak. Tapi pada adegan lain kita bisa melihat Ed Wood berbincang-bincang dalam posisi yang “setara” dengan sutradara legendaris Orson Welles. Saya merasa sikap netral yang diambil film ini membuat premis yang disampaikan kurang memiliki efek yang kuat.

Begitu pun film ini berhasil membuat saya termenung cukup lama. Dan jika anda termasuk penyuka film-film Tim Burton dan belum sempat menyaksikan Ed Wood, saya sarankan anda segera menontonnya. Di antara film-film Burton yang lain, film yang diangkat dari kisah nyata ini justru yang paling unik. Saya semakin percaya bahwa fakta, senyatanya, lebih aneh ketimbang fiksi. []

Tucker & Dale vs Evil

2010

Maple Pictures

Genre: Comedy-Horror

Sutradara: Eli Craig

Pemain: Tyler Labine, Alan Tudyk, Katrina Bowden, Jesse Moss, Chelan Simmons

Penulis: Eli Craig & Morgan Jurgenson

Sinematografer: David Geddes

Musik: Michael Sields & Andrew Kaiser

Durasi: 89 menit

MPAA Rating: Not Rated

Nilai: -A


Tucker & Dale vs Evil betul-betul sebuah film horror-comedy yang segar dan menghibur. Film ini berhasil membikin kekonyolan dari sebuah tipikal scenario yang tampaknya telah menjadi rumusan baku dalam produksi film bergenre slasher-thriller. Tak pernah rasanya saya begitu terbahak melihat adegan tubuh yang terpotong-potong selain dari skenario yang disajikan film ini. Ya, humornya mungkin agak sedikit kelam, namun sama sekali tidak bersifat psychotic. Semuanya murni komedi situasional.

Ceritanya pasti sudah akrab di benak para penggemar film horor. Perhatikan: sekelompok mahasiswa – pergi berlibur – pembunuh psikopat – mahasiswa mati satu per satu – satu/dua orang (biasanya yang paling ganteng/cantik) berhasil selamat. Bedanya dengan film horor biasa, Tucker & Dale vs Evil punya elemen tambahan: dua karakter menyedihkan bernama Tucker dan Dale. Dua orang anak gunung yang polos dan baik hati ini adalah distorsi paling lucu dalam sejarah film thriller.

Secara kebetulan mereka berdua juga sedang berlibur di lokasi yang sama dengan lokasi berlibur sekelompok mahasiswa. Kekacauan mulai terjadi ketika para mahasiswa tersebut mengira Tucker dan Dale menculik salah seorang di antara mereka, meski pada kenyataannya Tucker dan Dale justru sedang menolong mahasiswi tersebut.

Dengan penampilan seperti anggota keluarga The Hewitt, bukan hal yang aneh jika mahasiswa-mahasiswa berpikiran sempit tersebut mengira Tucker dan Dale sebagai sepasang maniac killers. Apa lagi kemudian, atas dasar ketidaksengajaan dan kebodohan mereka sendiri, mahasiswa-mahasiswa itu mulai mati satu per satu. Mulai dari sini situasinya akan semakin runyam dan, justru, membuat ceritanya menjadi semakin konyol. Dari segi skenario dan ide cerita, film ini jauh lebih unggul ketimbang film-film lain sejenis, misalnya Scary Movie.

Sayangnya ide cerita yang segar tersebut tidak di-finishing secara baik. Sang penulis skenario tampaknya tak mau mengambil resiko untuk tidak menjadi konvensional seratus persen. Pada satu titik film ini terjerumus juga pada tradisi cerita horor khas Amerika: pemunculan tokoh pembunuh psikopat sungguhan, meski alasan pemunculannya agak dipaksakan.

Akibatnya, semangat bermain-main yang menjadi keunggulan film ini justru menjadi hilang. Dengan memaksakan munculnya seorang tokoh “antagonis murni”, film komedi-horor ini pada akhirnya menjadi film horor betulan. Padahal, spirit ‘playfulness’ tersebutlah yang membuat kita betah menonton film ini sampai akhir. Apa boleh buat…

Saturday 11 June 2011

The Blair Witch Project

1999

Artisan Entertainment

Genre: Horror

Sutradara: Daniel Myrick & Eduardo Sanchez

Pemain: Heather Donahue, Joshua Leonard, Michael C. Williams

Penulis: Daniel Myrick & Eduardo Sanchez

Sinematografer: Neal Fredericks

Musik: Antonio Cora

Durasi: 86 menit

MPAA Rating: Rated R for language

Nilai: -C


Ketika mereview Paranormal Activity, saya mengatakan bahwa seandainya film tersebut pertama di jenisnya, saya akan memberi penilaian lebih tinggi dari pada yang saat itu saya berikan. Kenyataannya, ketika menyaksikan The Blair Witch Project yang (konon) merupakan pelopor genre pseudo-dokumenter horror seperti Paranormal Activity, saya malah semakin membenci film-film jenis ini. The Blair Witch Project betul-betul membosankan, sampai-sampai membuat saya bolak-balik mengecek seek bar Media Player Classic saya seraya berharap filmnya segera berakhir.

The Blair Witch Project berkisah tentang pengalaman tiga orang anak muda yang menghilang di sebuah hutan angker ketika sedang membuat sebuah film dokumenter. Filmnya dituturkan melalui potongan-potongan adegan yang direkam melalui kamera yang dipegang oleh karakter utama. Di awal film kita diinformasikan bahwa kamera itu sendiri ditemukan di lokasi hilangnya ketiga anak muda tersebut. Maka semua scene di dalam film merupakan “dokumentasi” pengalaman ketiga anak muda tersebut diteror oleh entah apa di tengah hutan.

Melalui formula semacam itu, ada harapan di benak penonton bahwa mereka akan mengalami perasaan horror secara lebih intens. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. Saya nyaris tidak mengalami keterlibatan emosi dengan cerita yang dibangun. Pikiran yang berseliweran dalam benak saya selama film berlangsung adalah: “ngapain sih gua nontonin orang yang sedang panik ketika tersesat di dalam hutan?”. Saya pikir ini masalahnya: keterlibatan emosi antara audiens dengan “teks” tak bisa semata-mata dibangun melalui pilihan sudut pandang penceritaan. Believe me, it takes more than that…

Dan rasa-rasanya saya tak perlu menyebut sudut pandang yang dipakai film ini sangat menganggu secara visual. Entah sudah berapa kali saya dengar kasus mengenai orang yang muntah-muntah ketika menonton film ini di bioskop. Saya pikir ini akan menjadi yang terakhir kalinya saya menonton film semacam ini.

Saturday 4 June 2011

Gattaca

1997

Columbia Pictures

Genre: Drama, romance, thriller, sci-fi

Sutradara: Andrew Niccol

Pemain: Ethan Hawke, Jude Law, Uma Thurman, Gore Vidal

Penulis: Andrew Niccol

Sinematografer: Slawomir Idziak

Musik: Michael Nyman

Durasi: 106 menit

MPAA Rating: Rated PG-13 for brief violence image, language, and some sexuality

Nilai: A

Setidaknya ada dua cara yang sering muncul di dalam film untuk membicarakan wacana-wacana filsafat.* Cara yang pertama adalah dengan mengeksplisitkan tendensi filsafat di dalam film itu sendiri. Maksudnya, sejak awal film itu sendiri sudah memproklamirkan dirinya sebagai sebuah “film filsafat”. Kecenderungan itu bisa kita lihat, misalnya, dari tema yang diambil, dialog-dialog yang “sumir”, dan kutipan-kutipan filosofis yang bertebaran sepanjang film. Judul-judul yang masuk dalam kategori ini misalnya: I (Heart) Huckabees, Being John Malkovich, dan The Seventh Seal.

Cara yang kedua biasanya lebih halus. Isu filsafat yang diambil dikemas sedemikian rupa dalam sebuah cerita sehingga tidak terlihat terlalu menonjol. Film-film jenis ini mengajak penonton menikmati sensasi berfilsafat bukan melalui ajakan langsung, tetapi menyisipkannya secara rapi di dalam sebuah jalinan narasi. Judul-judul yang masuk dalam kategori ini di antaranya The Truman Show, Rashomon, dan yang terakhir saya tonton, Gattaca.

Isu yang diambil Gattaca adalah isu yang sudah lama menjadi perbincangan di dalam filsafat kesadaran dan filsafat moral, terutama setelah berkembangnya ilmu neurosains dan genetika. Diandaikan bahwa, ketika neurosains dan genetika menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari umat manusia, usia dan riwayat hidup seseorang sudah bisa diketahui sejak ia baru lahir. Hanya dengan sedikit sampel, seorang dokter bisa memvonis bayi yang baru lahir dengan penilaian genetis: apakah kelak si bayi akan menjadi orang yang berguna atau malah menjadi sampah masyarakat.

Pelan tapi pasti, sebuah diskriminasi jenis baru mulai terbentuk. Orang-orang yang memiliki nilai genetis yang baik akan diterima secara sosial, sedangkan orang-orang yang memiliki nilai genetis yang buruk (bahkan berbahaya) akan terjerembab ke dalam kasta paling bawah dalam masyarakat. Pada latar sosial semacam itulah film Gattaca mengambil tempat.

Meski pun hidup pada era kejayaan ilmu genetika, orang tua Vincent Freeman (Ethan Hawke) memilih untuk melahirkan anaknya secara alami, tanpa rekayasa genetis agar sang anak menjadi jenius atau semacamnya. Maka lahirlah Vincent yang ternyata "cacat" secara genetis: ia divonis oleh neurologist yang membantu kelahirannya akan tumbuh sebagai anak laki-laki yang lemah, sakit-sakitan, dan hanya akan hidup sampai umur 30 tahun.

Dengan vonis semacam itu, Vincent masuk ke dalam kategori sosial yang disebut sebagai orang-orang "invalid", yakni orang-orang yang diramalkan menjadi beban masyarakat akibat bawaan genetisnya. Pada hari pertamanya di dunia, Vincent Anton Freeman telah dikurung ke dalam kasta sosial yang dibentuk atas nama ilmu pengetahuan.

Perlakuan diskriminatif yang dialami Vincent bahkan sudah dimulai sejak di dalam rumah. Mengingat fisiknya yang lemah, orang tua Vincent cenderung memfavoritkan Anton, adik Vincent yang (setelah orang tuanya kapok dengan proses kelahiran alamiah) lahir melalui rekayasa genetis. Dalam hal pendidikan, Vincent tidak diterima masuk ke sekolah yang bagus dan mahal. Pihak sekolah tidak mau mengambil resiko tidak mendapatkan premi asuransi jika terjadi apa-apa terhadap Vincent. Ketika beranjak dewasa, Vincent menghadapi kenyataan bahwa orang-orang seperti dirinya hanya boleh bekerja sebagai tenaga kerja kasar.

Kelebihan Gattaca tentu saja terdapat pada kemampuannya memprovokasi pikiran penonton terhadap tema yang disodorkan dan, melaluinya, mengajak penonton merenungi situasi dan implikasi dari kemajuan teknologi yang dicapai umat manusia sejauh ini. Semua itu dilakukan melalui sebuah cerita yang dinarasikan secara runtut, lepas, dan tanpa beban pretensius yang dibuat-buat. Kita bahkan bisa menikmati film ini sebagai sebuah film drama, romance, dan thriller sekaligus.

Kekurangan film ini (dan film-film lain yang masuk kategori “film filsafat tidak langsung”) adalah kemudahannya untuk terjebak menjadi sebuah cerita yang personal. Provokasi yang disulut pada awal film akan tertimbun segala tetek bengek sub-plot yang bukan bagian tema besar film itu sendiri. Pada Gattaca kita bisa lihat bahwa pada akhirnya fokus cerita lebih berkonsentrasi pada bagaimana upaya Vincent mencapai cita-citanya menjadi astronot, dan juga kisah percintaannya dengan Irene (Uma Thurman), rekan kerjanya sesama calon astronot.

Di atas semua itu, Gattaca adalah sebuah fiksi ilmiah yang sangat layak untuk ditonton. Statusnya sebagai sebuah film fiksi ilmiah menjadi semakin menarik karena, berbeda dengan fiksi ilmiah Hollywood pada umumnya, tema yang diambil sangat aktual. Setidaknya, film ini bisa menjadi sebuah insight bagi para penonton bahwa terkadang perkembangan ilmu pengetahuan dan tingkat kesejahteraan manusia bisa berjalan tidak beriringan.

*Kategori ini adalah kategori yang longgar. Keduanya saya ambil dari dua titik yang paling ekstrem. Tentu saja ada film-film yang tendensi filosofisnya sangat jelas, namun memiliki cerita yang menopang tendensi tersebut. Contoh yang paling anyar adalah film komedinya Joel Coen, A Serious Man (2009) dan drama psikologis Synecdoche, New York (Charlie Kaufman, 2008). Kategori ini saya buat agar memudahkan pembagian. Lagi pula pada dasarnya setiap film bisa difilsafatkan asal kita rela bersusah payah merefleksikannya lebih dalam.