Tuesday 16 March 2010

Alice in Wonderland

2010
Walt Disney Pictures
Genre: Fantasy, Adventure
Sutradara: Tim Burton
Pemain: Mia Wasikowska, Johnny Depp, Helena Bonham Carter, Anne Hathaway, Crispin Glover, Michael Sheen, Stephen Fry
Penulis: Linda Woolverton
Sinematografer: Dariusz Wolski
Musik: Danny Elfman
Durasi: 109 Menit
MPAA Rating: PG for fantasy/action violence involving scary images and situation, and for a smoking caterpillar (wtf?!)
Nilai: C+

Saya tidak pernah membaca kisah-kisah Alice sebelumnya. Tapi, saya bayangkan cerita aslinya pasti menarik sekali. Bukan karena film terbaru dari sutradara Tim Burton ini sangat bagus. Justru sebaliknya, saya hampir merasa bosan menonton film ini. Karena itu saya coba membayangkan bagaimana jadinya cerita fantasi ini dalam bentuknya yang asli, tanpa embel-embel peperangan dan lelucon-lelucon yang melelahkan. Pasti menarik sekali.

Kisahnya bermula ketika Alice yang telah berusia 19 tahun mengunjungi pesta di sebuah kediaman keluarga bangsawan. Tanpa sepengetahuan Alice, pesta tersebut ternyata merupakan pesta pertunangan dirinya dengan Hamish, teman sepermainan dan anak keluarga bangsawan tersebut. Di kebun tempat berlangsungnya pesta itu Alice melihat seekor kelinci putih dan mengejarnya hingga terperosok ke sebuah negeri khayalan, tempat di mana makhluk-makhluk aneh dan binatang-binatang dapat berbicara. Alice mendapati bahwa negeri dongeng tersebut berada dalam kondisi yang mengenaskan dan dipimpin oleh seorang ratu lalim bernama Red Queen. Melalui sebuah ramalan, Alice mengetahui bahwa dirinya ditakdirkan untuk menyelamatkan negeri dan makhluk-makhluk aneh ini dari kekuasaan Red Queen. Maka petualangan pun dimulai.

Harus diakui Tim Burton memang ahli menciptakan (atau memoles ulang) karakter-karakter unik dan menarik. Siapa bisa melupakan Edward Si Tangan Gunting? Atau makhluk-makhluk ajaib di film Big Fish? Di film ini kita akan jatuh cinta pada Helena Bonham-Carter yang memerankan Red Queen. Setiap kali ia muncul di frame entah kenapa saya bisa menjamin adegan itu menjadi menarik. Johnny Depp, yang biasanya bersinar paling terang, tampaknya tidak mau tampil ngoyo. Tapi tetap saja ia begitu enak dipandang, seolah-olah dirinya dan kamera mempunyai chemistry yang begitu kental dan sulit dihapuskan. (Saya tidak heran Tim Burton begitu mencintai dua “mainannya” tersebut).

Tapi, mainan sebagus apa pun akan rusak di tangan seorang anak yang nakal. Dan dalam kasus ini, “anak nakal” tersebut adalah skenario yang buruk. Tidak ada yang saya harapkan ketika menonton film ini kecuali Alice cepat-cepat menyelesaikan misinya membunuh naga dan hidup bahagia selama-lamanya. Siapapun tahu ini adalah perang yang sangat hitam-putih (err, maksudnya merah-putih…) dan pasti dimenangkan oleh si putih. Masalahnya bagi saya: perlu berapa lama perang tersebut bisa diselesaikan sebelum saya benar-benar jatuh tertidur.

Overall: skenario film ini tidak sebanding dengan nama-nama besar yang menciptakannya. Bagi anda yang berencana nonton film ini di bioskop, ada baiknya memilih format 3-D. Mungkin alternatif tersebut bisa menebus kekecewaan yang bakal anda rasakan ketika keluar dari ruang teater nanti.