Sunday 9 August 2009

Harry Potter and The Half-Blood Prince


2009
Warner Bros
Jenis: Fantasy, Adventure
Sutradara: David Yates
Pemain: Daniel Radcliffe, Rupert Grint, Emma Watson, Tom Felton, Alan Rickman, Michael Gambon
Penulis: Steve Kloves, based on the novel by J. K. Rowling
Sinematografer: Bruno Delbonnel
Durasi: 153 Minutes
MPAA Rating: PG for some scary images, some violent, language, and mild sensuality
Nilai: B+

Tahun keenam di dunia sihir adalah masa-masa paling genting dari seluruh rangkaian cerita Harry Potter. Di sini kita bisa melihat sebuah kontradiksi: sementara pengaruh Pelahap Maut semakin besar, Harry dan kawan-kawan malah sedang asyik-asyiknya menjalani kehidupan ABG yang penuh gejolak di sekolah sihir Hogwarts. Kombinasi adegan-adegan khas remaja dengan tone yang didominasi warna gelap membuat suasana yang dibangun film ini menjadi unik.

Cerita dimulai dengan dua scene yang ganjil. Pertama ketika Dumbledore mengajak Harry menjenguk Profesor Horace Slughorn dan, yang paling ganjil, deklarasi “Janji Tak Terpatahkan” antara Severus Snape dengan Narcissa Malfoy. Di Hogwarts sendiri banyak hal yang terjadi, di antaranya keanehan gerak-gerik Draco Malfoy yang membuat Harry curiga bahwa dia telah menjadi anggota resmi Pelahap Maut dan terpilihnya Profesor Snape sebagai pengajar kelas Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam. Tetapi, kerangka utama cerita ini berpusat pada bagaimana Harry, atas perintah Dumbledore, menginvestigasi Profesor Slughorn mengenai masa lalu Tom Riddle a.k.a Lord Voldemort.

Banyak penggemar novel Harry Potter yang mengeluh film ini lebih banyak menampilkan adegan-adegan romantis khas remaja ketimbang hal-hal penting lain seperti, misalnya, riwayat hidup Lord Voldemort. Bagi saya sendiri, adaptasi skenario film ini memang tidak berimbang. Dihapusnya kisah masa lalu Tom Riddle agak keterlaluan. Para “muggle” (merujuk pada penonton yang awam dengan novel Harry Potter) punya hak untuk tahu siapa Lord Voldemort sebenarnya. Sayang sekali, kisah cinta tragis antara ibunda dan ayah Voldemort, yang saya harapkan visualisasinya, malah absen di dalam film.

Pada ¾ durasi awal, film ini tampak kedodoran. Subplot yang disuguhkan benar-benar bukan hal yang penting untuk dibahas kecuali sebagai pemanis. Cerita film baru mendapat “tenaga”-nya ketika permasalahan Horcrux mulai muncul. Isu “Horcrux dan Voldemort” memang seharusnya mendapat tempat utama dalam film ini. Bukan apa-apa, tetapi dua hal tersebut nantinya bakal menjadi fokus petualangan Harry Potter di tahun ketujuh. Visualisasi atas peristiwa penyerbuan Pelahap Maut di Hogwarts juga minim. Padahal, adegan tersebut memiliki peran penting, di mana banyak sahabat dan keluarga Harry tewas dibunuh oleh Pelahap Maut.

Di luar semua kekurangan dan ekspektasi saya yang tidak terpenuhi, Harry Potter and The Half-Blood Prince tetap enak untuk ditonton. Apalagi sejak kendali penyutradaraan dipegang David Yates, serial Harry Potter berhasil dibuat dengan tingkat kegelapan dan kesuraman yang memikat. Saya harap Harry Potter and The Deathly Hallows nanti bisa lebih gelap dan, tentu saja, lebih detail.

No comments:

Post a Comment