20th Century Fox
Genre: Action, adventure, drama
Sutradara: Ridley Scott
Produser: Peter Chernin, Ridley Scott, Jenno
Topping, Michael Schaefer, Mark Huffam
Pemain: Christian Bale, Joel Edgerton, Ben Kingsley,
Aaron Paul, Sigourney Weaver, John Turturro, Maria Valverde
Penulis: Adam Cooper, Bill Collage, Jeffrey Caine, Steven Zaillian
Sinematografer : Dariusz Wolski
Musik: Alberto Iglesias
Durasi: 150 menit
MPAA Rating: PG-13
Nilai: B+
Kita
mengenal kisah Nabi Musa sebagai salah satu kisah paling kolosal di dalam Kitab
Perjanjian Lama. Kita juga mengenal Ridley Scott sebagai sutradara film-film
kolosal seperti Gladiator, Robin Hood,
dan Kingdom of Heaven. Lalu apa
jadinya jika Ridley Scott menyutradarai film yang diangkat dari kisah Nabi
Musa? Seharusnya kita mendapat tontonan yang maha kolosal. Kolosal kuadrat.
Dalam
beberapa hal, khususnya efek visual dan setting, Exodus: Gods and Kings memang berhasil mempersembahkan tontonan
yang dahsyat dan megah. Adegan klimaks di Laut Merah, misalnya, akan membuat anda
terpana. Efek visual yang menggambarkan hukuman Tuhan kepada rakyat mesir juga
cukup efektif membuat penonton ketakutan. Namun sayang Ridley Scott gagal
memanfaatkan kemewahan efek visual dan dana produksi yang besar untuk
menyajikan film yang layak untuk diingat.
Kisahnya
kita semua sudah tahu: seorang anak keturunan Yahudi dibesarkan di dalam
kerajaan Mesir dan bersahabat dekat dengan sang putra mahkota Firaun. Ketika
identitas asli sang anak akhirnya terkuak, ia diasingkan, mendapatkan wahyu,
dan bertekad membebaskan rakyatnya yang ditindas sebagai budak oleh bangsa
Mesir.
Kita
semua paham tantangan berat yang dihadapi Ridley Scott: kisah Nabi Musa sudah
sangat familiar di dalam benak milyaran orang di muka bumi, dan telah
divisualisasikan pula ke dalam film beberapa kali. Maka saya datang ke bioskop
dengan rasa penasaran yang membuncah: “hal baru apa yang ditawarkan Ridley
Scott, salah satu sutradara kesukaan saya, ke dalam kisah klasik ini?” Hingga
akhirnya film selesai, saya tetap membatinkan pertanyaan tersebut tanpa
mendapatkan jawaban yang memadai.
Banyak
orang bilang film ini menawarkan interpretasi kisah Nabi Musa yang lebih
rasional dan masuk akal. Oke, perlu saya akui upaya menginterpretasi mukjizat
terbelahnya Laut Merah sebagai fenomena alam biasa (tsunami) adalah ide yang
menarik. Begitu pula upaya penulis skenario menjadikan sosok Musa lebih sebagai
pemimpin revolusi politik dan teroris ketimbang sebagai nabi sebagai upaya yang
patut diacungi jempol.
Tetapi,
menurut hemat saya, justru di situlah letak kelemahan terbesar Exodus. Kisah Nabi Musa menjadi kisah
yang paling diingat orang karena di sinilah mukjizat Tuhan muncul paling
banyak. Kisah Nabi Musa adalah penegas: Tuhan bangsa Israel adalah Tuhan yang
maha kuasa, yang tidak akan ragu menghukum orang-orang yang menyekutukan
diri-Nya dan menyakiti umat pilihan-Nya. Exodus
mengaburkan itu semua dan justru menghadirkan pertanyaan pelik tentang
kelayakan Tuhan semacam itu untuk disembah. Musa sendiri digambarkan sebagai
sosok yang skeptis dan sering mendebat keputusan-keputusan Tuhan.
Pada
akhirnya film ini menjadi serba tanggung. Awalnya terasa ada upaya menjadikan Exodus sebagai pembacaan ulang kisah
Musa dalam perspektif epik-historis. Tetapi pada akhirya film ini terjatuh
kembali sebagai kisah mitos-biblikal yang penuh mukjizat kenabian. Secara umum,
saya tidak bisa menerka apa yang ingin dicapai Ridley Scott lewat Exodus.
Soal
pembagian peran juga agak bermasalah. Ridley Scott banyak sekali menyia-nyiakan
nama besar di jajaran casting Exodus.
Ben Kingsley, Sigourney Weaver, dan pendatang baru Aaron Paul (pemeran Jesse
Pinkman dalam serial Breaking Bad) hanya
sedikit sekali mendapatkan jatah penampilan yang memadai. Sayangnya, kedua
aktor yang paling mendapat tempat, Christian Bale sebagai Moses dan Joel
Edgerton sebagai Raja Ramses, juga memberikan penampilan yang tidak memorable. Bale memang satu-satunya bintang
yang paling bersinar, tetapi penampilannya sebagai Moses tampak seperti rehash dari peran-peran yang ia lakoni
sebelum Exodus. Sedangkan Edgerton
sendiri tidak mendapat ruang eksplorasi yang maksimal untuk perannya sebagai
Firaun yang lalim. Di Amerika sendiri
pemilihan casting Exodus menimbulkan kontroversi
rasisme terkait minimnya aktor berkulit gelap untuk sebuah cerita yang
bersetting di Afrika.
Tetapi,
seperti saya bilang tadi, film ini memiliki efek visual yang megah. Ridley
Scott bersama sinematografer Dariusz Wolski berhasil menyuguhkan visualisasi
yang keren untuk adegan-adegan ikonik seperti terbelahnya Laut Merah, sepuluh
wabah, dan adegan penyerangan tentara Mesir terhadap suku Hittite. Bahkan bisa
dibilang pace film ini terasa sangat
lamban sebelum akhirnya penonton disuguhkan pada adegan-adegan yang membutuhkan
kecanggihan efek visual.
Pada
akhirnya kita hanya dapat melihat film ini sebagai versi modern dari film-film
Musa yang pernah ada sebelumnya, terutama The
Ten Commandments (Cecil B. DeMille, 1956). Namun Exodus sama sekali belum dapat melewati The Ten Commandments sebagai referensi sinematik utama bagi kisah
Nabi Musa. Saya tidak tahu apakah Ridley Scott memang berniat menggeser posisi Commandments lewat Exodus, namun satu hal yang saya tahu pasti: jika ingin menonton
kembali kisah Nabi Musa, saya akan berkali-kali memprioritaskan Commandments ketimbang Exodus.
No comments:
Post a Comment