Tuesday 30 December 2014

Exodus: Gods and Kings

2014

20th Century Fox

Genre: Action, adventure, drama

Sutradara: Ridley Scott

Produser: Peter Chernin, Ridley Scott, Jenno Topping, Michael Schaefer, Mark Huffam

Pemain: Christian Bale, Joel Edgerton, Ben Kingsley, Aaron Paul, Sigourney Weaver, John Turturro, Maria Valverde

Penulis: Adam Cooper, Bill Collage, Jeffrey Caine, Steven Zaillian

Sinematografer : Dariusz Wolski

Musik: Alberto Iglesias

Durasi: 150 menit

MPAA Rating: PG-13

Nilai: B+

Kita mengenal kisah Nabi Musa sebagai salah satu kisah paling kolosal di dalam Kitab Perjanjian Lama. Kita juga mengenal Ridley Scott sebagai sutradara film-film kolosal seperti Gladiator, Robin Hood, dan Kingdom of Heaven. Lalu apa jadinya jika Ridley Scott menyutradarai film yang diangkat dari kisah Nabi Musa? Seharusnya kita mendapat tontonan yang maha kolosal. Kolosal kuadrat.

Dalam beberapa hal, khususnya efek visual dan setting, Exodus: Gods and Kings memang berhasil mempersembahkan tontonan yang dahsyat dan megah. Adegan klimaks di Laut Merah, misalnya, akan membuat anda terpana. Efek visual yang menggambarkan hukuman Tuhan kepada rakyat mesir juga cukup efektif membuat penonton ketakutan. Namun sayang Ridley Scott gagal memanfaatkan kemewahan efek visual dan dana produksi yang besar untuk menyajikan film yang layak untuk diingat.

Kisahnya kita semua sudah tahu: seorang anak keturunan Yahudi dibesarkan di dalam kerajaan Mesir dan bersahabat dekat dengan sang putra mahkota Firaun. Ketika identitas asli sang anak akhirnya terkuak, ia diasingkan, mendapatkan wahyu, dan bertekad membebaskan rakyatnya yang ditindas sebagai budak oleh bangsa Mesir.

Kita semua paham tantangan berat yang dihadapi Ridley Scott: kisah Nabi Musa sudah sangat familiar di dalam benak milyaran orang di muka bumi, dan telah divisualisasikan pula ke dalam film beberapa kali. Maka saya datang ke bioskop dengan rasa penasaran yang membuncah: “hal baru apa yang ditawarkan Ridley Scott, salah satu sutradara kesukaan saya, ke dalam kisah klasik ini?” Hingga akhirnya film selesai, saya tetap membatinkan pertanyaan tersebut tanpa mendapatkan jawaban yang memadai.

Banyak orang bilang film ini menawarkan interpretasi kisah Nabi Musa yang lebih rasional dan masuk akal. Oke, perlu saya akui upaya menginterpretasi mukjizat terbelahnya Laut Merah sebagai fenomena alam biasa (tsunami) adalah ide yang menarik. Begitu pula upaya penulis skenario menjadikan sosok Musa lebih sebagai pemimpin revolusi politik dan teroris ketimbang sebagai nabi sebagai upaya yang patut diacungi jempol.

Tetapi, menurut hemat saya, justru di situlah letak kelemahan terbesar Exodus. Kisah Nabi Musa menjadi kisah yang paling diingat orang karena di sinilah mukjizat Tuhan muncul paling banyak. Kisah Nabi Musa adalah penegas: Tuhan bangsa Israel adalah Tuhan yang maha kuasa, yang tidak akan ragu menghukum orang-orang yang menyekutukan diri-Nya dan menyakiti umat pilihan-Nya. Exodus mengaburkan itu semua dan justru menghadirkan pertanyaan pelik tentang kelayakan Tuhan semacam itu untuk disembah. Musa sendiri digambarkan sebagai sosok yang skeptis dan sering mendebat keputusan-keputusan Tuhan.

Pada akhirnya film ini menjadi serba tanggung. Awalnya terasa ada upaya menjadikan Exodus sebagai pembacaan ulang kisah Musa dalam perspektif epik-historis. Tetapi pada akhirya film ini terjatuh kembali sebagai kisah mitos-biblikal yang penuh mukjizat kenabian. Secara umum, saya tidak bisa menerka apa yang ingin dicapai Ridley Scott lewat Exodus.

Soal pembagian peran juga agak bermasalah. Ridley Scott banyak sekali menyia-nyiakan nama besar di jajaran casting Exodus. Ben Kingsley, Sigourney Weaver, dan pendatang baru Aaron Paul (pemeran Jesse Pinkman dalam serial Breaking Bad) hanya sedikit sekali mendapatkan jatah penampilan yang memadai. Sayangnya, kedua aktor yang paling mendapat tempat, Christian Bale sebagai Moses dan Joel Edgerton sebagai Raja Ramses, juga memberikan penampilan yang tidak memorable. Bale memang satu-satunya bintang yang paling bersinar, tetapi penampilannya sebagai Moses tampak seperti rehash dari peran-peran yang ia lakoni sebelum Exodus. Sedangkan Edgerton sendiri tidak mendapat ruang eksplorasi yang maksimal untuk perannya sebagai Firaun yang lalim.  Di Amerika sendiri pemilihan casting Exodus menimbulkan kontroversi rasisme terkait minimnya aktor berkulit gelap untuk sebuah cerita yang bersetting di Afrika.

Tetapi, seperti saya bilang tadi, film ini memiliki efek visual yang megah. Ridley Scott bersama sinematografer Dariusz Wolski berhasil menyuguhkan visualisasi yang keren untuk adegan-adegan ikonik seperti terbelahnya Laut Merah, sepuluh wabah, dan adegan penyerangan tentara Mesir terhadap suku Hittite. Bahkan bisa dibilang pace film ini terasa sangat lamban sebelum akhirnya penonton disuguhkan pada adegan-adegan yang membutuhkan kecanggihan efek visual.


Pada akhirnya kita hanya dapat melihat film ini sebagai versi modern dari film-film Musa yang pernah ada sebelumnya, terutama The Ten Commandments (Cecil B. DeMille, 1956). Namun Exodus sama sekali belum dapat melewati The Ten Commandments sebagai referensi sinematik utama bagi kisah Nabi Musa. Saya tidak tahu apakah Ridley Scott memang berniat menggeser posisi Commandments lewat Exodus, namun satu hal yang saya tahu pasti: jika ingin menonton kembali kisah Nabi Musa, saya akan berkali-kali memprioritaskan Commandments ketimbang Exodus

No comments:

Post a Comment